Kalau kita berbicara soal keadilan, maka hampir setiap orang sepakat agar semua orang menegakkan keadilan. Namun, yang menjadi titik persengketaan adalah ketika manusia menerjemahkan keadilan dengan penafsiran yang menyimpang dari makna yang semestinya. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memaparkan di dalam salah satu karyanya ‘Huquq da’at ilaihal fithrah wa qarrarat-ha as-syari’ah’ bahwa keadilan adalah; memberikan hak kepada setiap pemiliknya atau menempatkan segala sesuatu sesuai dengan kedudukan dan martabatnya.
Apabila kita coba mencermati definisi yang diberikan oleh Syaikh di atas, maka apa yang beliau utarakan tidak meleset dari makna dan maksud yang digambarkan oleh al-Qur’an al-Karim. Salah satu buktinya adalah ketika Allah ta’ala menggambarkan perbuatan syirik sebagai bentuk kezaliman, bahkan ia tergolong kezaliman yang paling besar dibandingkan yang lainnya. Allah ta’ala berfirman mengisahkan nasehat Luqman kepada puteranya (yang artinya), “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu merupakan kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman : 13. Mengomentari ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya menegaskan bahwa syirik merupakan kezaliman yang terbesar.
Penamaan syirik sebagai kezaliman dapat kita pahami berangkat dari definisi keadilan sebagai sebuah tindakan penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya atau memberikan hak kepada sang pemilik hak tersebut, itulah adil dan lawannya adalah zalim. Ini artinya, di dalam perbuatan syirik terkandung makna menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya atau memberikan sesuatu bukan kepada yang berhak menerimanya. Lalu apakah gerangan yang menyebabkan syirik dimasukkan dalam kategori kezaliman; apakah seorang yang memuja berhala dan beribadah kepada selain Allah telah menyakiti orang lain [atau dalam bahasa yang populer sekarang telah melanggar HAM] sehingga dia layak untuk digelari sebagai orang yang zalim? Tentu saja bukan karena itu, namun karena seorang pelaku kesyirikan telah menempatkan ibadah -yang itu merupakan hak Allah semata- kepada selain-Nya, dengan kata lain dia telah memberikan sesuatu -yaitu ibadah- kepada yang tidak berhak menerimanya -yaitu makhluk-. Nah, dari sini kita dapat memahami di manakah letak zalimnya perbuatan syirik. Sebab syirik merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Rabbul ‘alamin (HAR).
Dengan memahami konsep adil di atas dengan benar, maka akan tampak pula bagi kita bahwa perjuangan sebagian orang untuk menegakkan keadilan yang hanya menitik beratkan persoalan pemenuhan hak-hak manusia; kebutuhan ekonomi rakyat di antaranya, merupakan perjuangan yang tidak syamil dan tidak mutakamil alias tidak komprehensif dan tidak sempurna. Hal ini penting untuk kita ingatkan, sebab banyak orang tertipu dengan slogan keadilan sementara mereka lalai tentang tafsiran dan penerapannya yang terpenting yaitu menegakkan ajaran tauhid di alam dunia. Ibnu al-Qayyim rahimahullah telah menegaskan bahwa tauhid merupakan keadilan yang paling adil, sebagaimana halnya syirik merupakan kezaliman yang paling zalim.
Dalam kerangka berpikir ini maka sah-sah saja kalau ada yang mengatakan bahwa pada hakikatnya dakwah salafiyah atau yang sering disebut orang dengan dakwah wahabi sebenarnya sebuah dakwah demi penegakan keadilan, bahkan keadilan tertinggi di jagad raya yaitu ifradullahi bil ‘ibadah (mengesakan Allah dalam beribadah). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan apa pun.” (QS. an-Nisaa’ : 36). Dan tidak sebaliknya; maksudnya tidak setiap orang yang mengaku memperjuangkan keadilan layak untuk dikategorikan sebagai pengusung dakwah salafiyah dan pengibar panji-panji tauhid. Dan alangkah bijaknya takdir Allah ta’ala ketika ternyata orang-orang yang mengaku memperjuangkan keadilan itu pun enggan untuk disebut wahabi ataupun salafi bahkan berusaha mendiskreditkan dakwah keadilan yang sejati ini. Wallahul musta’an!
Kemudian, apabila kita kembali menyoroti ayat di atas yang mengisahkan nasehat seorang ayah kepada anaknya. Dengan mencermati kisah itu tampaklah bagi kita bahwa sebenarnya dakwah tauhid merupakan salah satu bukti kasih sayang antar sesama umat manusia, bukti kecintaan orang tua kepada putra-putrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada mereka sebagai rahmat, apabila mereka taat niscaya pahala berlipat-lipat akan mereka dapat. Sebaliknya, ketika mereka keras kepala dan menolak ajarannya, siksa pedih dan berkepanjangan menjadi layak untuk mereka rasakan di akhirat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam sabdanya, “Barangsiapa yang taat kepadaku niscaya masuk surga, dan siapa yang mendurhakaiku maka itulah orang yang enggan memasukinya.” (HR. Bukhari).
Padahal, kita semua tahu bahwa beliau diutus oleh Allah -demikian pula rasul-rasul yang lainnya- untuk membawa misi dakwah yang sama yaitu agar umat manusia menegakkan HAR (Hak Asasi Rabbul ‘alamin) alias mempersembahkan segala bentuk ibadah mereka kepada-Nya saja. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl : 36). Coba perhatikanlah rangkaian ayat suci al-Qur’an dari depan, maka niscaya akan anda temukan bahwa perintah pertama kali yang Allah tujukan kepada segenap manusia adalah firman-Nya (yang artinya), “Hai umat manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah : 21). Hal ini bukan sesuatu yang aneh, sebab memang tujuan hidup umat manusia di atas muka bumi ini adalah untuk mengabdi kepada-Nya. Bukankah kita masih ingat ayat (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat : 56). Sementara ibadah tidak bisa disebut ibadah jika dicampuri dengan kesyirikan kepada-Nya. Buktinya, Allah ta’ala menegaskan ucapan seorang mukmin kepada kaum kafir, “Katakanlah; Hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kalian sembah, dan kalian pun tidak dianggap menyembah apa yang aku sembah.” (QS. al-Kafirun : 1-3).
Dibangun di atas persepsi keadilan yang benar -berdasarkan bimbingan wahyu- dan kepahaman akan realita umat manusia semacam itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim para da’i untuk menyadarkan umat manusia tentang hakikat hidup mereka dan tugas besar yang diberikan Allah di atas pundak-pundak mereka semua yaitu untuk tunduk beribadah kepada-Nya semata. Ingatlah sebuah kisah yang dicatat dengan rapi oleh para ahli hadits dalam kitab-kitab mereka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak memberangkatkan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, tatkala itu beliau berpesan, “Jadikanlah dakwah yang pertama kali kamu serukan adalah syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Agar mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah kepada seorang sahabat pada hakikatnya perintah kepada semua umatnya, demikian sebagaimana sudah ma’ruf dalam pembicaraan para ulama, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya tentu saja.
Hal itu memberikan pelajaran kepada kita bahwa dakwah tauhid merupakan prioritas perjuangan dan ruh amar ma’ruf nahi mungkar. Ketika sedemikian banyak kemungkaran merajalela di masyarakat, maka orang yang cerdik akan mengutamakan untuk mengatasi kemungkaran yang terparah dan paling membahayakan keselamatan manusia tanpa bermaksud menyepelekan yang lainnya. Inilah sunnatullah di alam semesta dan pada hamba-hamba-Nya; umat manusia membutuhkan orang-orang yang menyadarkan mereka tentang bahaya besar yang tengah mengancam mereka yaitu syirik kepada Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa lain yang ada di bawah tingkatannya bagi orang-orang yang dikehendakinya saja.” (QS. an-Nisaa’ : 48 dan 116). Kalaulah bukan karena bahaya syirik yang begitu dahsyat dan mengerikan maka Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak akan memanjatkan doanya, “(Hai Rabbku), jauhkanlah aku dan anak-anak keturunanku dari menyembah berhala. Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak manusia.” (QS. Ibrahim : 35-36). Sementara kita semua tahu siapakah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sang kekasih ar-Rahman, penumpas berhala kaumnya, orang yang telah mematahkan hujjah para pemuja berhala, hamba yang dilemparkan ke dalam kobaran api oleh kaumnya dan ditolong oleh Rabbnya.
Sejarah telah membuktikan bahwa waktu 13 tahun di Mekah belum cukup bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menempa dan mengokohkan aqidah umat. Bahkan sampai mejelang wafatnya pun beliau masih mewanti-wanti mereka agar tidak mengikuti tradisi syirik yang diwariskan oleh kaum ahli kitab sebelum mereka. Sampai akhirnya beliau wafat dalam keadaan ajaran Islam ini telah terang benderang dan sempurna. Dan tidak ada seorang alim pun yang memungkiri bahwa rahasia kesuksesan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah karena kekuatan aqidah yang tertanam di dalam dada para salafush shalih di kala itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengenai mereka -para sahabat- bahwa mereka itu adalah ‘abarru hadzihil ummati quluban’ (orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini). Paling baik hatinya, tentu ditimbang dari sisi agama, dan yang paling pokok adalah karena ketauhidan mereka.
Maka sangatlah aneh bin ajaib jika sebagian orang yang meneriakkan slogan keadilan pada jaman ini justru alergi dengan dakwah tauhid dan para ulamanya, bahkan yang lebih menyedihkan lagi mereka berusaha menciptakan citra buruk bagi dakwah yang mulia ini; dakwah keadilan yang sejati. Maka tidaklah disalahkan kalau sebagian orang mengatakan bahwa sebenarnya keadilan yang mereka perjuangkan saat ini dengan trik-trik ala Yahudi lebih layak untuk dimasukkan dalam daftar deretan kezaliman terhadap para da’i dan pembodohan terhadap umat akan ajaran tauhid yang semestinya diprioritaskan baik dalam hal pendanaan, perencanaan, pendidikan, dan tentu saja dalam hal kampanye dan sosialisasi program, maka tauhidlah yang pertama kali dan paling penting untuk kita perkenalkan; bukannya sosok-sosok caleg dan kibaran bendera partai yang kian hari semakin menebarkan api kebencian.